Postingan

Tolong sadar, dan kejarlah! Larilah!

                Aku masih saja berjalan ketika semuanya mulai berlari. Bahkan ketika mereka sudah jauh di depan sana, aku masih berjalan seperti sedia kala. Dan ketika mereka terlihat hampir mencapai garis finish, aku masih tetap berjalan.                 Aku masih berjalan dan berpura-pura tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Aku bukan berpura-pura sebenarnya, tapi aku sedang berlatih untuk benar-benar tak peduli meski kadang ada rasa penasaran yang muncul. Perasaan itu selalu muncul —memaksa masuk ke dalam pikiranku dan membuatku tak nyaman. Aku juga ingin berlari. Namun—ah perjalanan ini, ini sebuah perjalan hidup bukan pelarian hidup. Kenapa aku harus berlari?                 Aku masih berjalan menikmati apa yang ada di sekitarku. Kenapa harus berlari kalau dengan berjalan aku bisa mendapatkan kesenangan ini? Lihat kucing lucu itu! Dia sangat menggemaskan. Aku tidak akan bisa melihatnya kalau aku berlari. Lihat bunga yang mekar dengan cantik itu!   Aku tidak akan bisa

Dika, tunggu Mas Adhit ya!

                Sudah pukul 2 pagi, tapi mataku masih tidak mau terpejam. Padahal kepalaku sudah mulai pening, 2 hari tidak tidur. Tanganku terus bergerak memainkan ponsel. Padahal tidak ada apa-apa, tapi rasanya aku ingin tetap melihat layar ponselku. Aku terus membuka pesan dari salah satu nomor di kontak ponselku.   Dan selalu saja bibirku kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Ah, malu rasanya. Ah, aku ingin berteriak.                 Aku menenggelamkan wajahku dalam sebuah bantal. Aku menjadi salah tingkah sendiri. Dan lagi-lagi kembali melihat pesan itu. Gatal tanganku, ingin sekali menekan gambar telepon. Tahan, pasti dia sudah tidur jam segini. Di ujung kiri, di sebelah foto profilnya menunjukkan kapan terakhir dia membuka aplikasi pesan ini. Ya, terakhir ketika kami sama-sama mengucapkan salam dan tertawa kemudian meminta salah satu untuk mengucapkan salam dan yang lain baru menjawabnya. Ah, aku malu! ———                 “Halo, Assalamu’alaikum.”                 Ak

Maaf

                Maaf aku terlalu berharap denganmu, sampai kamu merasa terbebani dengan hadirku. Maaf aku terlalu menunjukkan perasaanku dan membuatmu jengah dengan hal itu. Maafkan aku. Maaf aku pernah membuka hati untukmu yang tiba-tiba datang disaat aku membutuhkan seseorang. Disaat aku baru saja kehilangan orang terkasihku. Ketika aku butuh pundak untuk bersandar. Maaf aku sudah membiarkanmu melakukan semua itu padaku. Maaf aku tidak sadar kalau semua yang kamu lakukan hanya sebatas pedulimu terhadap seorang teman. Maafkan aku telah berharap lebih daripada itu. Maaf. [JbW]

Can I marry your daughter?

                “Aku ingin menikah! Aku ingin menikah! Aku harus sudah menikah di 2018.”                 Aku terus mengatakan itu kepada teman-temanku. Sebenarnya aku tidak tahu, aku ini bicara seperrti itu serius atau hanya untuk main-main—membuat teman-temanku tertawa-. Sampai pernah, sebuah berita bodoh tersebar di kalangan teman-temanku, ‘Tara akan menikah bulan Desember’. Haha. Sungguh itu berita bodoh, gosip bodoh.                 Gosip itu berawal dari kepolosan atau mungkin bisa disebut kebodohan salah satu temanku, Nurul. Ketika aku sedang kalap melahap makananku, Nurul tiba-tiba berkata,                 “Ra! Katanya mau kurus, katanya Desember mau nikah.”                 Yaaaa! Maksudnya aku mau kurus ketika datang ke pernikahan temanku di bulan Desember. Dan salah seorang dari kami yang waktu itu duduk di depanku menganggap aku betulan akan nikah di bulan Desember.                 “Kamu serius akan menikah bulan Desember?” Tanyanya terus, tidak hanya dalam dunia n

Si Kera Bodoh

                Aku tidak memintamu memilihku, bahkan mempercayaiku seperti sekarang ini. Yah, aku tahu semua ini salahku, semestinya dulu aku tak membuatmu melihatku, semestinya aku tak menunjukkan diriku di hadapanmu, hingga akhirnya kau memilihku dan sepertinya begitu mempercayaiku.                 Aku bukan anjing yang bisa kau ikat lehernya lalu kau bawa kemana pun kau suka, aku ini lebih tepatnya seperti kera yang bisa dirantai tapi lebih sering membertontak. Aku tidak suka jika pada akhirnya kau mengikatku. Tak membiarkan melakukan sesuatu yang aku hendaki. Aku bisa marah. Bahkan sering kali aku telah menunjukkan padamu kalau aku jengah dengan mu, jengah terhadap semua akan dirimu. Tapi sepertinya kau berpura-pura bodoh untuk memahami kejengahan ku ini. Aku ingin kau lepas saja. Biarkan aku tak bertuan, biarkan aku mati kelaparan di jalanan, biarkan aku tak merasakan kasih sayang yang terasa berlebihan itu, karena aku tak suka terus dirantai.                 Kau. Kau terus

Aku juga Manusia

             Kau! Kau tahu, aku sedang tidak berada pada titik terendah dalam hidupku. Aku masih dapat mengontrol semua itu. Tapi saat ini, walau bukan di titik terendah, aku benar-benar merasa jengah. Aku jengah dengan dia yang selalu menganggapku salah, dan mempermainkanku untuk memancing amarahku.            Aku sudah berusaha sebisaku menjaga setiap kata dan perbuatanku padanya. Bahkan hanya dia satu-satunya orang selalu kuceritakan bak malaikat pada orang lain. Aku selalu memujinya kepada siapapun aku bicara, aku selalu menjunjung namanya. Dan, ternyata aku SALAH.             Salahku terlalu percaya padanya. Salahku terlalu mengangkatnya. Salahku terlalu memujanya. Salahku membuat dia lupa bahwa aku juga manusia seperti dirinya yang punya perasaan, dan juga ingin dianggap. Bukan, aku bukan mengharapkan posisinya atau kekuasaannya. Aku hanya ingin dia sadar, aku tidak bisa terus dia injak dengan sepatunya yang penuh dengan tai itu. Badanku sudah kotor penuh dengan tanah, bahka

Kali ini Sisi yang Mana?

                Aku benci ketika aku mulai kekanak-kanakan. Merasa dengki, merasa tidak diadili.                 Aku selalu merasa, aku terus-terusan menomor satukan orang lain yang kuanggap telah dekat denganku, aku selalu ingin membuatnya merasa spesial. Tapi aku juga selalu merasa aku tidak pernah mendapatkan hal seperti itu darinya. Nah! Ini yang paling kubenci dariku. Merengek, minta disamakan, minta dimengerti. Padahal setiap orang punya caranya masing-masing memperlakukan orang lain. Tapi, aku tidak mudah menerima hal itu. Kalau aku sudah memperlakukanmu seperti itu, kamu juga harusnya seperti itu padaku.                 Kronis. Seperti sudah mengakar bertahun-tahun. Tidak tahu diri. Sadar, tapi masih tetap saja diulang-ulang. Aku tidak mengerti, bagaimana titik kepuasan itu bisa kudapatkan. Bukan, bukan aku. Tapi sisi diriku yang lain, yang sulit menerima keadaan.                 Aku pernah berniat meninggalkannya jauh, dan membuatnya menghilang. Tapi kenyataannya, keman