Dika, tunggu Mas Adhit ya!


                Sudah pukul 2 pagi, tapi mataku masih tidak mau terpejam. Padahal kepalaku sudah mulai pening, 2 hari tidak tidur. Tanganku terus bergerak memainkan ponsel. Padahal tidak ada apa-apa, tapi rasanya aku ingin tetap melihat layar ponselku. Aku terus membuka pesan dari salah satu nomor di kontak ponselku.  Dan selalu saja bibirku kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Ah, malu rasanya. Ah, aku ingin berteriak.
                Aku menenggelamkan wajahku dalam sebuah bantal. Aku menjadi salah tingkah sendiri. Dan lagi-lagi kembali melihat pesan itu. Gatal tanganku, ingin sekali menekan gambar telepon. Tahan, pasti dia sudah tidur jam segini. Di ujung kiri, di sebelah foto profilnya menunjukkan kapan terakhir dia membuka aplikasi pesan ini. Ya, terakhir ketika kami sama-sama mengucapkan salam dan tertawa kemudian meminta salah satu untuk mengucapkan salam dan yang lain baru menjawabnya. Ah, aku malu!
———
                “Halo, Assalamu’alaikum.”
                Aku yang tadinya sempat kalut dan bingung karena seharian berusaha menahan untuk tak meracuni paru-paruku dengan nikotin, tar, hidrogen sianida, arsenik, dan apapun itu- dari sebuah batang putih kecil, kini seolah semua rasa itu sirna begitu saja.
                “Wa’alaikumussalam.”
                “Hehehe.” Tawa di balik telepon ini membuatku tersipu malu. “Gimana?”
                Aku ikut tertawa tidak jelas. Sungguh, sekarang rasanya pipiku mejadi hangat. “Kamu sudah makan?”
                “Hahahaha, apasih? Kayak apa aja deh.”
                “Lho, aku tanya betulan. Nanti kalau Dika belum makan lemes, jadi nggak semangat telponnya.”
                “Hhhh. Baiklah baiklah. Sudah. Kamu?” Tanya Dika gadis dibalik telepon yang saat ini dengan suaranya saja sudah membuat hatiku teraduk-aduk.
                “Sudah, tadi. Sebelum telpon Dika aku makan dulu, biar ada tenaga untuk menggombalimu. Hahahaha.”
                Ini sungguhan. Sekarang aku salah tingkah.
                “Haduh mulai deh, kan aku sudah bilang sama Mas Adhit hati-hati kalau merayu anak perempuan.”
                “Emangnya kenapa?”  Tanyaku menggoda. “Dika baper digombalin aku?”
                ”Hampir. Hahahaha.” Dia tertawa lepas. Aku yang malu.
                “Terus aku harus gimana supaya Dika baper beneran?”
                ”Apaan sih Mas Adhit nih? Ku tutup lho telponnya.”
                “Eh jangan! Aku masih mau denger Dika ketawa.”
                Aih. Sumpah. Ini menggelikan sekali sebenarnya. Tapi sungguhan aku tidak mau waktu-waktu seperti ini cepat berakhir. Aku sungguh menikmati momen berbincang dengannya. Entah apa yang kami bicarakan. Kadang ngalor-ngidul tidak jelas, menertawakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditertawakan namun dengan sendirinya tertawa—mungkin tepatnya tersipu malu dan menyembunyikannya dengan tawa. Suara tawa mewakili teriakan hati kami. Hahaha.
                “Mas Adhit, besok aku pulang.”              
                “Wah, iya? Seru dong.” Aku tidak tahu harus merespon apa dengan kata-kata Dika barusan. Dalam hatiku tiba-tiba sesuatu ingin menyeruak memaksa keluar. Tapi apa.
                “Iya. Aku sudah nggak pulang 5 bulan. Kangen sama bunda sama ayah.”
                “Aku tahu rasa itu. Aku ingat betul ketika aku masih jadi anak kuliahan yang jauh dari orang tua.”
 Ah bukan ini yang mau ku katakan. Ada yang lain.
Mengganjal. Tapi entah apa.
“Ya elah Mas Adhit cuma kuliah di Surabaya aja kok. Malang-Surabaya berapa jauh sih? Nggak kayak Jogja-Malang kan?”
“Hahahaha. Iya, iya deh. Percaya yang kuliahnya lebih jauh dari aku.”
Adhit! Ayo keluarkan!
“Iya dong. Mas Adhit mah cuma tau Surabaya-Malang aja. Eh kerja juga balik kandang ke Malang lagi. Hahaha.”
“Dika, kalau sudah di rumah kabarin aku ya!”
“Iya, iya, santai aja. Nanti aku kabarin.”
Bibirku masih tidak mau mengatakannya. Sumpah Adhit kamu pengecut.
“Aku mau ke rumah ketemu ayah sama bundanya Dika.” NAH!
“Hah? Mau ngapain?” Sepertinya jantung Dika sama berdegup denga kencangnya seperti jantungku.
“Harus aku jelasin nih?”
Bodoh! Sok memancing segala.
“Iya. Jelasin dong!”
Mampus aku!
“Aku mau memperbaiki kesalahanku 3 tahun lalu. Aku mau datang dengan baik. Memintamu dengan baik di depan ayah-bundamu.”
“Ah, apaan sih?”
“Terlalu cepat ya?”
“Iya.” Aku mendengar Dika menarik nafasnya dan terasa berat. “Dari awal aku sudah mengira akhirnya akan seperti ini.”
“Maksudnya?”
“Ya. Akhirnya salah satu atau keduanya dari kita akan muncul perasaan itu kembali.”
Jantungku berhenti seperkian detik mendengar kata ‘salah satu’ terlontar dari Dika.
“Salah satu?” Aku memberanikan diri mengulang kata-kata itu.
“Iya.”
Tiba-tiba ribuan belati menancap di jantungku. Bodoh! Aku terlalu cepat menyimpulkan semua.
“Jadi Dika nggak punya rasa yang sama kayak yang aku rasakan?” Dan bodohnya lagi sudah jelas-jelas di-iya-kan masih bertanya. Mau  berapa belati lagi Dhit?
“Aku nggak tau. Buram aja bagiku. Jujur aku menikmati saat-saat kita mengobrol, bertukar pikiran, bertukar candaan, dan lainnya. Dan sesekali jantungku bedegup dengan cepat di sela-sela obrolan kita. Tapi—“ Dika terdiam. Pembicaraannya menggantung.
“Jadi, 3 bulan yang telah kita lalui ini nggak bisa bikin Dika kembali merasakan rasa itu?”
Aku tahu aku tidak tahu diri dan bodoh karena masih terus bertanya seperti ini. Harusnya aku tahu diri, dan buru-buru minta maaf padanya karena telah mengusiknya dengan kata-kataku.
“Aku nggak tau.”
“Maksudnya? Ada harapan untukku membuatmu kembali merasakan hal itu?”
“Nggak tau.”
Ah sumpah Dika! Jangan tidak tahu terus. Aku butuh sesuatu yang pasti. Aku tahu mungkin aku sudah jahat dengan mu di masa lalu. Tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan tiba-tiba juga telah dengan yang lain. Aku tahu saat itu aku bodoh telah menyia-nyiakanmu. Tapi sekarang aku mau memperbaikinya.
“Apa karena masalah dulu? Dik, aku sudah berkali-kali minta maaf saat itu. Aku memang bodoh. Aku saat itu pada usia yang labil. Aku butuh seseorang di dekatku. Aku marah ketika kamu memilih Jogja sebagai tujuanmu.”
“Apaan sih Mas? Yang dulu ya udahlah. Ya emang aku kesel banget, cuma karena aku milih kuliah di Jogja, nggak di Surabaya nemenin kamu masa tiba-tiba kamu hilang, dan tiba-tiba jadian sama kak Vela, hahaha. Tapi ya udah sih. Itu udah lawas banget. Toh kamu juga udah kena batunya. Ternyata juga cuma dijadiin pelampiasaan sama Kak Vela. Hahaha.” Sempat-sempatnya dia tertawa.
“Terus karena apa?”
“Ya, aku belum yakin dengan semuanya.”
“Beri aku waktu untuk meyakinkanmu.”
“Tapi aku nggak bisa menjamin kalau aku bakal punya rasa itu lagi. Saat ini aku cuma seneng aja bisa ngobrol sama Mas Adhit. Tapi untuk kepikiran kesana masih kayak nggak jelas gitu.” Dika adalah gadis yang paling jujur dan apa adanya tiap bicara. Kadang dia tidak sadar apa yang dia katakan sangat berpengaruh untuk orang lain.
“Ya. Kamu boleh pergi kapanpun. Tapi jangan tiba-tiba. Jangan buat aku kembali jatuh dalam lubang hitam.”
“Bukannya kebalik ya? Hahaha.”
“Dika, aku serius.”
“Haha. Iya, maaf.”
“Jadi aku boleh ke rumah kan besok waktu kamu pulang?”
“Silahkan. Tapi cuma buat main aja ya. Lagian ayah bunda juga nggak tahu kok masalah dulu. Tahunya kita pisah baik-baik karena aku harus fokus seleksi masuk univ waktu itu. Hahaha.”
“Iya. Aku juga kangen sama candaannya ayah. Hahaha.”
Perbincangan hari ini seperti rollercoster bagiku. Naik dan turun dengan berbagai sensasi di jantungku.
Aku harus cepat-cepat mencari topik pembicaraan agar pembicaraan ini tidak cepat selesai. Aku masih mau berlama-lama mengobrol dengan gadis ini. Aku sedang bertekad saat ini. Hahaha. Aku mau membuatnya kembali padaku. Dan aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kami sudah sama-sama dewasa saat ini. Dika, tunggu Mas Adhit ya!


[Note dari aku—Bet- yang saat ini lagi pingin nulis tapi nggak tau mau nulis apaan: Sumpah ya, ini tuh harusnya endingnya nggak gini. Aku pinginnya Dika jadi gadis paling jahat di hidup Mas Adhit, hahahaha. Aku bikin ini udah dari kapan bulan, udah lama banget, dan nggantung nggak jelas. Terus tiba-tiba kepikiran buat menyelesaikannya. Padahal ada yang harus diselesaikan juga, SKRIPSI. HAHAHAHA.
Inikan dari sisi Mas Adhitkan ya, nah pas itu tuh momennya lagi enak, lagi pinky-pinky gitu, penuh dengan gambar hati. Hahaha. Terus kan sekarang lagi hambar, lah jadinya malah gitu. Aku tuh maunya Mas Adhit kecewa sama Dika. Mas Adhit yang selama ini sudah berusaha berubah menjadi lebih baik supaya pantas bersanding dengan Dika, tiba-tiba dipatahkan semua oleh Dika. Dia kembali ke lubang hitam itu. Kembali menikmati dunia gelap yang dipenuhi warna hitam yang sendu. CHAKHEEP, hahaha. Terus aku mau flashback ke masa-masa hitamnya Mas Adhit. Dari anak baik-baik yang diterima keluarganya Dika. Dianggap sebagai kakak kelas panutan. Ketika tiba-tiba Dika berubah haluan. Setelah jatuh sekian kali karena nggak sepinter Mas Adhit, Dika yang sebenernya juga pengen kuliah di Surabaya, akhirnya kocar-kacir, dan nganggur setahun. Disitu Mas Adhit bukannya mendukung Dika malah mulai ilang-ilangan, yah maklumkan anak kuliahan, hahaha. Tapi mereka masih berhubungan. Sampai akhirnya Dika mendadak pinter keterima di salah satu univ di Jogja. Lah Mas Adhit yang ‘merasa’ menemani Dika di masa-masa sulit merasa terkhianati. Dan sebenernya cuma alasan aja sih. Mas Adhit emang ngerasa nggak klop aja sama Dika yang sedikit-sedikit ngeluh sama kehidupannya, ya anak gapyear gitu kan, butuh dukungan sekali rasanya, merasa bodoh, merasa tidak berguna dsb. Nah Mas Adhit nggak bisa tuh kayak gini. Terus Mas Adhit yang awalnya anak baik-baik, pintar, sholeh, karena lingkungan jadi GOBLOK. Heu. Nyewek. Minum. Ngrokok. DAN SEBAGAINYA. Nah setelah sekian lama mereka tidak komunikasi, akhirnya mereka komunikasi lagi, nggak tahu karena apa, belum kepikiran dan  tidak akan kupikirkan karena udah selesai kan ya ceritanya hahahaha. Nah Mas Adhit yang sedang memperbaiki diri terus komunikasi lagi sama Dika merasa masa-masa indahnya kembali bersemi. Jadi makin semangat. HahahahaAslik dramatis dan basi banget sih sebenernya. Hahaha.
Ya gitu. Sebenernya juga tidak ada moral valuenya sih. Hahaha. Sampah banget ini. Cuma karena waktu itu lagi berbunga-bunga aja. Pengen bikin cerita orang lagi PDKT. Hahaha. PDKT kedua kalinya. Hm, apa tidak greget tuh. HAHAHA. Udahlah. Intinya—NGGAK ADA. HAHAHA.]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tolong sadar, dan kejarlah! Larilah!