Can I marry your daughter?

                “Aku ingin menikah! Aku ingin menikah! Aku harus sudah menikah di 2018.”
                Aku terus mengatakan itu kepada teman-temanku. Sebenarnya aku tidak tahu, aku ini bicara seperrti itu serius atau hanya untuk main-main—membuat teman-temanku tertawa-. Sampai pernah, sebuah berita bodoh tersebar di kalangan teman-temanku, ‘Tara akan menikah bulan Desember’. Haha. Sungguh itu berita bodoh, gosip bodoh.
                Gosip itu berawal dari kepolosan atau mungkin bisa disebut kebodohan salah satu temanku, Nurul. Ketika aku sedang kalap melahap makananku, Nurul tiba-tiba berkata,
                “Ra! Katanya mau kurus, katanya Desember mau nikah.”
                Yaaaa! Maksudnya aku mau kurus ketika datang ke pernikahan temanku di bulan Desember. Dan salah seorang dari kami yang waktu itu duduk di depanku menganggap aku betulan akan nikah di bulan Desember.
                “Kamu serius akan menikah bulan Desember?” Tanyanya terus, tidak hanya dalam dunia nyata tapi juga dunia maya. Haha. Dan responku?
                “Hm, doakan saja.”
                Haha, jadi aku tidak menjawab iya atau pun tidak. Dan jelas itu membuat dia bingung dan semakin penasaran. Entah rasanya senang sekali membuat orang penasaran. Sampai berita itu menyebar di kalangan teman bermainnya, dan salah satu teman bermainnya menanyakan hal sama padaku. Lagi-lagi responku tidak mengiyakan ataupun menolak. Hahaha.
                Kira-kira itu sekitar bulan Agustus. Ya, aku sih berdoa saja, semoga itu akan terjadi betulan. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir aku tidak terlalu siap untuk meikah. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan ketika sudah menikah. Dan bagaimana perasaanku setelah itu. Apakah senang, dan senang itu akan bertahan sampai akhir. Atau kesenanganku itu hanya bertahan sampai beberapa hari seperti ketika aku punya mainan baru. Ya, aku sungguh tidak tahu nantinya akan bagaimana.
                Tapi yang awalnya aku hanya berniat mengerjai temanku, akhirnya itu bagai boomerang untuk diriku sendiri. Aku jadi benar-benar ingin menikah.
                Tahu? Aku berdoa pada Allah agar segera dipertemukan dengan jodohku. Dan doa itu hanya bertahan sebulan. Aku lelah dan merasa geli. Ya! Tara! Kamu kuliah saja malas bangun pagi, shubuh saja kamu telat bagaimana kamu bisa membangun rumah tangga. Sadar! Yap! Jadi aku berhenti berdoa karena kupikir masih banyak doa yang harus kupanjatkan dan harus dikabulkan terlebih dahulu, seperti contohnya nikah. YA! Tidak-tidak, maksudku doa supaya aku cepat lulus kuliah dengan hasil memuaskan, doa untuk kesehatan ibu dan adik-adikku.
Sementara mulutku berhenti berdoa minta jodoh, otakku terus bertanya-tanya, ‘bagaimana rasanya menikah?’ ‘akankah aku bisa nikah bulan Desember?’ dan hal sejenisnya. Aku merasa benar-benar terkena batunya. Aku jadi terus memikirkannya. Walaupun kadang aku sadar aku ini sepertinya belum siap, tapi di sisi lain mengatakan aku bisa, kita bisa belajar bersama membangun rumah tangga. Tapi setiap aku mengingat rumah tangga orang tuaku, itu menjadi momok terbesar dalam hidupku. Kemudian aku akan mengatakan, ‘aku tidak akan menikah sampai kapanpun, aku mau mengabdikan hidupku untuk kebahagiaan ibu dan adik-adikku’. Lalu tiba-tiba sisi lain kembali memberontak, ‘aku mau nikah bulan Desember’.
Aku bimbang. Seolah-olah aku saat ini benar-benar dihadapkan dengan calon suamiku, dan aku harus memilih antara kebahagiaan orang-orang yang kusayangi atau kebahagiaan diriku sendiri. Ah, tapi sepertinya aku tidak akan sebimbang saat ini jika aku benar-benar sudah memiliki calon suami, hehe. Ya! Tidak-tidak, aku akan tetap bimbang kok.
Menyebalkannya , mmm tunggu tidak menyebalkan kok. Mengesalkan mungkin. Yah, apalah itu. Salah satu teman bermain ku, Renita, juga selalu membicarakan pernikahan.
“Aku mau menikah dan memiliki keluarga yang sederhana dan bahagia bersama dia.” Katanya dengan mata berbinar menatap langit-langit.
Tunggu! ‘Dia’ yang temanku sebutkan itu adalah ‘dia’ku waktu itu. Kami sama-sama mengidolakan laki-laki itu. Tepatnya aku duluan. Dulu aku juga bilang seperti itu kok.
“Ah, Rasya memang laki-laki idaman. Aku akan bersabar sampai di pelaminan kita nanti.”
Menjijikan? Ya, sangat! Tapi dulu aku suka mengatakannya. Sampai akhirnya aku jenuh, aku tidak tahan dengan sikap dingin Rasya. Seolah dia tahu aku memendam rasa padanya, dan dia berusaha menjauhiku, dan berubah menjadi dingin.
“Hey! Aku paham kok, aku juga tidak akan memintamu menjadi kekasihku saat ini, aku akan menunggumu.”
Saat itu aku bisa bilang begitu. Aku berikrar sabar menunggu. Tidak akan terjebak dalam kemaksiaatan. Tapi akhirnya aku lelah dan berusaha menghapus semua rasaku.
Meskipun begitu aku sebenarnya tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini yang sebenarnya. Karena kadang ketika temanku membicarakan Rasya aku ingin sekali berteriak,
“Diam! Aku dulu yang suka padanya. Aku yang lebih mengenalnya. Kamu bahkan tidak tahu apa yang terjadi saat Rasya tiba-tiba diam, aku tahu kenapa, aku tahu semuanya.”
Tapi semua itu kutahan karena aku tidak mau merusak pertemananku, dan lagi rasanya aku tidak benar-benar menyukainya. Itu hanya main-main.
Kembali lagi dengan keinginanku untuk menikah bulan Desember. Akhirnya temanku yang penasaran itu tahu kalau itu tidak benar, dan aku malah yang jadi berharap aku betulan nikah bulan Desember. Hal itu terkuak ketika pemilihan anggot suatu lembaga, dimana aku mencalonkan diriku sebagai salah satu anggota.
“Nikahmu gimana Tar nanti?”
Pertanyaan itu muncul membuatku berpikir untuk mundur, lalu aku sadar ‘itukan hanya khayalanku.’ Jadi aku tetap mencalonkan diri, dan akhirnya  aku terpilih. Haha. Kupikir dengan begitu keinginanku untuk menikah hilang, ternyata tidak. Justru semakin kuat, apalagi ketika mulai memasuki bulan Desember.
“Yaaaaaa. Ini tinggal 27 hari lagi sebelum tahun baru.” Teriakku histeris ketika melihat kalender dalam ponselku.
“Kamu ini kenapa sih? Katanya cuma bercanda.” Nurul selalu menjadi yang paling kesal ketika aku meributkan hal itu.
“Ini kan salahmu! Coba kalau waktu itu kamu tidak bilang seperti itu, kan aku jadi tidak seperti ini.” Aku selalu berusaha mencari kambing hitam. Tapi kurasa itu memang salah Nurul.
“Salahku? Suruh siapa tiba-tiba membekap mulutku, kalau kamu tidak menutup mulutku kan aku bisa meneruskan kata-kataku.”  Benar yang dikatakan Nurul.
“Yah, tapikan aku malu kalau orang tahu aku ingin kurus untuk datang ke pernikahan temanku karena disana aku bakal bertemu cinta monyetku. Itu konyol tahu!” Yah, itu lah alasanku sebenarnya waktu itu.
“Kamu  tahu itu konyol kenapa kamu jalani? Dan lagian aku kan hanya berusaha membantu merealisasikan mimpimu itu. Kamu ingin kurus, jadi aku mengingatkanmu ketika kamu kalap melihat makanan.”
“Hei sudah!” Cegah Renita sebelum adu mulut ini berubah menjadi adu jambak.
“Kamu juga sama saja! Hentikan omong kosongmu tentang Rasya!” Nurul dengan garangnya berhasil membuat Renita bungkam.
“Ok, cukup!” Kataku berusaha mengakhiri pertikaian tidak penting ini. “Ini memang memuakkan dan mengelikan. Tapi tetap saja AKU INGIN MENIKAH SEBELUM DESEMBER BERAKHIR!”
“YAAAAA! TARA HENTIKAAAN!”
Sampai akhirnya hari ini tiba, hari Selasa tanggal 26 Desember 2017.
Tahu kenapa? Seorang laki-laki memintaku menjadi istrinya. Boom! Kamu tahu apa jawabanku? “Hehehe”. Bodoh bukan? Yap bodoh!
Mmm, tentu saja aku hanya bisa ‘hehehe’, karena kami baru berkenalan, hanya berbicara tentang hal-hal dasar, hobi, kesukaan, dan hal mendasar lainnya.Tiba-tiba dia bilang,
“Kalau berkenan saya akan datang kerumah adik, dan meminta restu orang tuamu.” Katanya membuat mataku membelalak seolah hampir lepas dari tempatnya.
“Hehehe.” Responku, bodoh.
“Saya mau menjadikan adik sebagai istri saya.”
“Hehehe.”
“Mungin adik kaget, tapi alangkah lebih baiknya kalau abang tanyakan pada orang tuamu langsung daripada kita hanya seperti ini tanpa kejelasan.”
“Hehehe.”

Aku tidak tahu harus merespon apa. Aku ingin lari, lari karena takut tiba-tiba ada seorang laki-laki yang baru ku kenal memintaku menjadi istrinya, tapi aku juga ingin melompat girang karena ‘hey! Aku akan menikah dan Desember belum berakhir!"

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dika, tunggu Mas Adhit ya!

Tolong sadar, dan kejarlah! Larilah!