Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Can I marry your daughter?

                “Aku ingin menikah! Aku ingin menikah! Aku harus sudah menikah di 2018.”                 Aku terus mengatakan itu kepada teman-temanku. Sebenarnya aku tidak tahu, aku ini bicara seperrti itu serius atau hanya untuk main-main—membuat teman-temanku tertawa-. Sampai pernah, sebuah berita bodoh tersebar di kalangan teman-temanku, ‘Tara akan menikah bulan Desember’. Haha. Sungguh itu berita bodoh, gosip bodoh.                 Gosip itu berawal dari kepolosan atau mungkin bisa disebut kebodohan salah satu temanku, Nurul. Ketika aku sedang kalap melahap makananku, Nurul tiba-tiba berkata,                 “Ra! Katanya mau kurus, katanya Desember mau nikah.”                 Yaaaa! Maksudnya aku mau kurus ketika datang ke pernikahan temanku di bulan Desember. Dan salah seorang dari kami yang waktu itu duduk di depanku menganggap aku betulan akan nikah di bulan Desember.                 “Kamu serius akan menikah bulan Desember?” Tanyanya terus, tidak hanya dalam dunia n

Si Kera Bodoh

                Aku tidak memintamu memilihku, bahkan mempercayaiku seperti sekarang ini. Yah, aku tahu semua ini salahku, semestinya dulu aku tak membuatmu melihatku, semestinya aku tak menunjukkan diriku di hadapanmu, hingga akhirnya kau memilihku dan sepertinya begitu mempercayaiku.                 Aku bukan anjing yang bisa kau ikat lehernya lalu kau bawa kemana pun kau suka, aku ini lebih tepatnya seperti kera yang bisa dirantai tapi lebih sering membertontak. Aku tidak suka jika pada akhirnya kau mengikatku. Tak membiarkan melakukan sesuatu yang aku hendaki. Aku bisa marah. Bahkan sering kali aku telah menunjukkan padamu kalau aku jengah dengan mu, jengah terhadap semua akan dirimu. Tapi sepertinya kau berpura-pura bodoh untuk memahami kejengahan ku ini. Aku ingin kau lepas saja. Biarkan aku tak bertuan, biarkan aku mati kelaparan di jalanan, biarkan aku tak merasakan kasih sayang yang terasa berlebihan itu, karena aku tak suka terus dirantai.                 Kau. Kau terus

Aku juga Manusia

             Kau! Kau tahu, aku sedang tidak berada pada titik terendah dalam hidupku. Aku masih dapat mengontrol semua itu. Tapi saat ini, walau bukan di titik terendah, aku benar-benar merasa jengah. Aku jengah dengan dia yang selalu menganggapku salah, dan mempermainkanku untuk memancing amarahku.            Aku sudah berusaha sebisaku menjaga setiap kata dan perbuatanku padanya. Bahkan hanya dia satu-satunya orang selalu kuceritakan bak malaikat pada orang lain. Aku selalu memujinya kepada siapapun aku bicara, aku selalu menjunjung namanya. Dan, ternyata aku SALAH.             Salahku terlalu percaya padanya. Salahku terlalu mengangkatnya. Salahku terlalu memujanya. Salahku membuat dia lupa bahwa aku juga manusia seperti dirinya yang punya perasaan, dan juga ingin dianggap. Bukan, aku bukan mengharapkan posisinya atau kekuasaannya. Aku hanya ingin dia sadar, aku tidak bisa terus dia injak dengan sepatunya yang penuh dengan tai itu. Badanku sudah kotor penuh dengan tanah, bahka

Kali ini Sisi yang Mana?

                Aku benci ketika aku mulai kekanak-kanakan. Merasa dengki, merasa tidak diadili.                 Aku selalu merasa, aku terus-terusan menomor satukan orang lain yang kuanggap telah dekat denganku, aku selalu ingin membuatnya merasa spesial. Tapi aku juga selalu merasa aku tidak pernah mendapatkan hal seperti itu darinya. Nah! Ini yang paling kubenci dariku. Merengek, minta disamakan, minta dimengerti. Padahal setiap orang punya caranya masing-masing memperlakukan orang lain. Tapi, aku tidak mudah menerima hal itu. Kalau aku sudah memperlakukanmu seperti itu, kamu juga harusnya seperti itu padaku.                 Kronis. Seperti sudah mengakar bertahun-tahun. Tidak tahu diri. Sadar, tapi masih tetap saja diulang-ulang. Aku tidak mengerti, bagaimana titik kepuasan itu bisa kudapatkan. Bukan, bukan aku. Tapi sisi diriku yang lain, yang sulit menerima keadaan.                 Aku pernah berniat meninggalkannya jauh, dan membuatnya menghilang. Tapi kenyataannya, keman

Tertawa

                Kadang, aku hanya ingin berbagi dengan mereka bagaimana caraku menikmati dunia ini. Bagaimana aku tertawa ketika semua masalah seperti menyerbu ku tanpa peduli masalah lain yang telah lebih dulu menghampiriku. Aku ingin mereka tahu sehingga mereka tak lagi menangisi apa yang tak perlu ditangisinya itu.                 Tapi aku salah. Berbagi itu tidak selamanya baik.  Tidak semua orang dapat menerima caraku. Dimata mereka itu hanyalah sebuah kebodohan. Bodoh, mengapa kamu tertawa di saat seperti ini? Bodoh, mengapa kamu tidak prihatin dengan keadaanmu? Bodoh, ketika kamu terus menertawakannya tanpa berusaha menyelesaikan masalahmu.                 Kamu, selalu tertawa atas semua yang terjadi. Sampai kamu lupa bagaimana rasanya bersedih. Sampai kamu kehilangan empati dan simpatimu. Sampai kamu tidak ingat lagi apa makna dari kata peka. Sampai kamu tidak bisa membedakan makna air mata apa yang saat ini keluar dari matamu. Ujung matamu memang mengeluarkan bulir-bulir

.

                Aku tidak tahu apakah setiap orang pernah merasakan sendiri. Merasakan keadaan dimana ia benar-benar tidak memiliki siapapun, bahkan ia tidak diharapkan oleh siapapun. Sampai akhirnya dia pun membenci keberadaannya di dunia ini. Dan menyesali kelahirannya di dunia.                 Aku ingin bertanya pada orang itu. Pada dia yang pernah terjebak dalam lubang hitam itu. Aku ingin bertanya bagaimana ia keluar dari semuanya. Bagaimana ia mengakhiri hidupnya yang tak diinginkan itu. Bukan! Bukan mengakhiri dengan cara menyerahkan nyawanya pada iblis, apalagi menghabisi nyawanya dengan sia-sia. Aku ingin hidup yang lebih baik. Itu maksudku. Tapi sepertinya, setiap kali aku menemukan seseorang yang kumaksud, nyatanya itu kutemukan hanya dalam sebuah tulisan. Tulisan kenangan yang sama sekali tak indah. Yang berisi semua penyesalan tentang hidup.                 Lalu pada suatu malam, malam yang sama seperti biasanya. Di bawah atap rapuh, dengan dinding yang mulai berlumut