Kali ini Sisi yang Mana?
Aku
benci ketika aku mulai kekanak-kanakan. Merasa dengki, merasa tidak diadili.
Aku
selalu merasa, aku terus-terusan menomor satukan orang lain yang kuanggap telah
dekat denganku, aku selalu ingin membuatnya merasa spesial. Tapi aku juga
selalu merasa aku tidak pernah mendapatkan hal seperti itu darinya. Nah! Ini yang paling kubenci dariku.
Merengek, minta disamakan, minta dimengerti. Padahal setiap orang punya caranya
masing-masing memperlakukan orang lain. Tapi, aku tidak mudah menerima hal itu.
Kalau aku sudah memperlakukanmu seperti
itu, kamu juga harusnya seperti itu padaku.
Kronis.
Seperti sudah mengakar bertahun-tahun. Tidak tahu diri. Sadar, tapi masih tetap
saja diulang-ulang. Aku tidak mengerti, bagaimana titik kepuasan itu bisa
kudapatkan. Bukan, bukan aku. Tapi sisi diriku yang lain, yang sulit menerima
keadaan.
Aku
pernah berniat meninggalkannya jauh, dan membuatnya menghilang. Tapi
kenyataannya, kemanapun aku pergi ia selalu mengikutiku. Sejauh kakiku
melangkah, selihai aku bersembunyi, ia selalu dapat menemukanku.
Aku
kadang ingin memakinya dan membuatnya sakit hati, lalu pergi dengan sendirinya.
Tapi bagaimana bisa aku memaki pantulan diriku yang ada di cermin itu, jika ia
terus mengikuti apa yang aku lakukan. Bahkan setiap getaran hembusan nafasnya sama
persis dengan milikku. Kemana manik mataku bergerak, ia bahkan dapat menebak
dan menirunya.
Aku
seperti orang gila, ketika berusaha membuat gerakan yang tak dapat ditirunya.
Lalu aku seperti mendengar suara yang membuatku tertohok, ‘bodoh! Itu memang kamu! Bukan meninggalkannya atau membuatnya pergi,
tapi ajaklah ia berubah bersamamu.’
Kali
ini sisiku yang selalu merasa benar ikut campur. Ah, dia pikir aku juga tidak ingin membuatnya pergi?! Aku sebal terus
disalahkan dan diatu begini begitu olehnya.
Komentar
Posting Komentar