Tolong sadar, dan kejarlah! Larilah!


                Aku masih saja berjalan ketika semuanya mulai berlari. Bahkan ketika mereka sudah jauh di depan sana, aku masih berjalan seperti sedia kala. Dan ketika mereka terlihat hampir mencapai garis finish, aku masih tetap berjalan.
                Aku masih berjalan dan berpura-pura tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Aku bukan berpura-pura sebenarnya, tapi aku sedang berlatih untuk benar-benar tak peduli meski kadang ada rasa penasaran yang muncul. Perasaan itu selalu muncul—memaksa masuk ke dalam pikiranku dan membuatku tak nyaman. Aku juga ingin berlari. Namun—ah perjalanan ini, ini sebuah perjalan hidup bukan pelarian hidup. Kenapa aku harus berlari?
                Aku masih berjalan menikmati apa yang ada di sekitarku. Kenapa harus berlari kalau dengan berjalan aku bisa mendapatkan kesenangan ini? Lihat kucing lucu itu! Dia sangat menggemaskan. Aku tidak akan bisa melihatnya kalau aku berlari. Lihat bunga yang mekar dengan cantik itu!  Aku tidak akan bisa menikmati harum dan indah mekarnya jika aku berlari.
                Aku masih berjalan dan mereka semakin mendekati garis finish. Ah! Katanya tidak mau peduli. Tapi aku masih terus melihat ke arah mereka. Ini membuatku kembali merasa tak nyaman. Apalagi ketika aku sadar, mereka yang telah jauh di depan sana sesekali juga melihat ke arahku. Dengan tatapan yang tak ku sukai itu seolah di dalam benak mereka banyak pikiran dan pertanyaan yang ingin mereka sampaikan padaku. Cukup! Aku tidak mau mendengarnya. Lagian mereka harus berteriak untuk membuatku mendengarnya. Lari saja terus kalian! Jangan pedulikan aku.
                Aku masih berjalan dengan pikiran yang berkecamuk. Sesekali aku menikmati perjalan ini, namun tak jarang pula aku resah.  Aku resah dengan apa yang akan terjadi di garis finish sana. Apakah itu sungguhan garis finish yang nyata atau garis finish semu saja. Garis finish? Kenapa aku memikirkannya? Itu masih terlalu jauh. Yang kupikirkan dan kuresahkan sekarang harusnya itu apakah aku sanggup mencapainya? Apakah aku akan baik-baik saja selama perjalanan ini? Apakah aku ini memang jalan yang ku mau? Apakah aku tidak salah memilih jalan? Apakah—ah! Terlalu banyak pertanyaan!
                Aku masih berjalan ketika nafasku mulai sesak. Terengah-engah—tak teratur, hilang dan timbul. Kakiku mulai lemas—gontai. Keringat mulai mengucur. Padahal aku hanya berjalan. Apakabar mereka yang berlari bahkan tak membiarkan diri untuk beristirahat. Sementara aku hanya berjalan dan sesekali berhenti untuk istirahat. Berhenti untuk bermain dengan kucing mungil dengan binar mata yang indah. Berhenti untuk mencium aroma semerbak bunga yang hanya mekar di waktu-waktu tertentu saja.
                Aku masih berjalan dan menikmati perjalanan ini meski dengan pikiran yang berkecamuk. Meski dengan nafas terengah dan langkah yang gontai. Aku masih berjalan dan ingin berhenti mencoba jalan lain. Tapi langkahku sudah terlalu jauh untuk kembali. Aku ingin keluar dari arena ini. Aku ingin tidak memikirkan apa yang terjadi di depan atau di belakang sana. Tapi tidak bisa. Aku harus terus ke depan meski dengan berjalan. Aku harus tetap melangkah meski aku disoarki pecundang oleh orang-orang di depan sana. Aku tidak ingin peduli dengan pikiran mereka tentang ku, tapi aku manusia perasa yang khawatir dengan itu. Aku hanya inign terus melangkah dan sampai. Namun—ah terlalu banyak alasan.
                Aku masih berjalan di jalan ini meski aku mulai sadar aku memang pecundang. Aku tak ada seberapanya dengan mereka yang berlari dan hampir sampai itu tapi aku sudah ingin menyerah. Ya, aku memang pecundang! Lalu apa? Kenapa? Apa aku mengusik hidup mereka? Tidak. Aku berjalan dengan kakiku sendiri yang gontai ini. Aku tidak meminta mereka menungguku. Larilah! Lari sebissa kalian. Secepat apapun itu yang sanggup kalian lakukan. Biarkan aku berjalan.
                Aku masih berjalan ketika aku sadar bahwa mereka menoleh ke arahku bukan karena peduli. Mereka hanya prihatin, sekilas saja. Lebih ke heran dengan apa yang ku lakukan. Dengan apa yang membuatku tak ingin berlari. Mereka tidak peduli. Begitu pun aku—bohong. Aku mau berlari. Aku mau berlari cepat. Aku mau berlari dengan sepenuh tenagaku, dengan seluruh nafasku. Aku ingin berlari.
                Aku masih berjalan menikmati apa yang terjadi di sekitarku. Aku bukannya tidak mau berlari. Aku pernah mencobanya. Berlari dengan cepat. Lalu jatuh terjungkal. Aku tidak menyerah, aku mencoba kembali berlari, dan jatuh lagi. Ketika aku menepi untuk mengobati lukaku, aku menemukan kenyamanan yang membuatku ingin tetap diam di situ. Tapi aku harus mencapai garis finish. Dan aku tidak mau berlari dan jatuh untuk kesekian kalinya. Bukan karena sakit yang ingin kuhindari. Tapi diam di tempat yang nyaman ketika mengobati lukaku lalu enggan untuk kembali melangkah. Aku hanya tidak ingin terjebak di tempat itu. Aku mau berjalan saja. Meski kadang aku juga ingin berlari.
                Aku masih berjalan dan—sampai kapan aku harus terus berjalan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dika, tunggu Mas Adhit ya!